KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb.
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan karunia – Nya,
kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang membahas tentang Hipersensitivitas
yang berkaitan dengan system imun. Maksud penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ns. Haryanti.
Dalam
menyelesaikan tugas ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan pemikiran atau dalam bentuk apapun.
Kami sadar
bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Sehingga kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak agar kami bisa meningkatkan dalam
membuat makalah selanjutnya. Semoga apa yang ada didalamnya bermanfaat bagi
semua. Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Makassar, 2 JANUARI 2017
ZULFI PRINT
DAFTAR
ISI
Sampul Makalah
Kata Pengantar
Daftar isi
Bab. I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
B.
Tujuan
Penulisan
Bab. II
Pembahasan
·
Hipersensitivitas
Bab. III
Penutup/ Kesimpulan
Daftar
Pustaka
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi
hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan
yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator
penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi.
Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan
pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan
bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul
akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi
protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama
protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan
tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena
maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal
ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif
pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi
eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya
terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril
sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme
pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi
yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
B.
Tujuan PENULISAN
- Mampu menjelaskan sistem imun manusia, dan penyakit yang terkait system imun.
- Mampu menjelaskan patofisiologi dan patogenesis penyakit-penyakit imunologis.
- Menjelaskan komplikasi yang timbul dari penyakit imunologis.
- Menjelaskan cara pencegahan penyakit imunologi dengan pertimbangan faktor pencetus.
- Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit imunologis.
BAB II
Pembahasan
A. IPERSENSITIVITAS
Pada
dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh
sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan
differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana
suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga
yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh
menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Hipersensitivitas
(reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan (merusak,
menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan
oleh sistem
kekebalan
normal. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti
berikut:
1.
Reaksi Tipe I
2.
Reaksi Tipe II
3.
Reaksi Tipe III
4.
Reaksi Tipe IV
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA
IMUNOLOGIS
Tipe
|
Mekanisme Imun
|
Gangguan Prototipe
|
|
1
|
Tipe Anafilaksis
|
![]() ![]() |
Anafilaksis, beberapa bentuk asma bronkial
|
2
|
Antibodi terhadap antigen jaringan
tertentu
|
![]() |
Anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris
|
3
|
Penyakit Kompleks Imun
|
![]() ![]() |
Reahsi Arthua, serum sickness,
lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut
|
4
|
Hipersensivitas Selular (Lambat)
|
![]() |
Tuberkulosis, dermatitis kontak,
penolakan transplan
|
1. Tipe I :
Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas
akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast
atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan
reaksi tipe cepat.
a.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen
tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini
berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena
sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan
diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE
berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”,
individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas
tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan
pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal
intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer
untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan
vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul
dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan
menghilang setelah 60 menit.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8
jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini
ditandai dengan infiltrasi eosinofil
serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan
juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel
mukosa.
B. Etiologi
Kontak pertama, alergen menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. Ig E kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan
dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit
atau basofil menjadi tersensitisasi.
Kontak ulang, allergen akan berikatan dengan Ig E yang
berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan
terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi
primer dan sekunder.
Mediator primer
Histamin, yang merupakan mediator
primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain
yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan
eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin
serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan
(misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4
merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra
molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan
monosit.
Prostaglandin D2 adalah
mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel
mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
Faktor pengaktivasi
trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit,
pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik
untuk neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh
sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada
reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi
berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam
adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan
sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan
kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja
|
Mediator
|
Infiltrasi sel
|
Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
|
Vasoaktif (vasodilatasi,meningkatkan
permeabilitas vaskular)
|
Histamin
Faktor pengaktivasi trombosit
Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
|
Spasme otot polos
|
Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin Faktor pengaktivasi trombosit |
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat
dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat
antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
c.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai
suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat
(misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal,urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat
persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain
itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi
dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila
antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti
di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
2. Tipe II :
reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel
sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan
diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut.
Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986), reaksi allografi
dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini. Hipersensitivitas tipe II
diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada
permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas
disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme
bergantung antibodi, yaitu:
a.
Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II
melalui dua mekanisme: lisis langsungdan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang
diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel
menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis
melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan
fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel
darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,
meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat
menyebabkanfagos itosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang
diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah
merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan
antigen darah donor.
Eritroblastosis fetalis
karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif
yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel
darah merahnya sendiri.
Anemia hemolitik autoimun,
agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang
individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
Reaksi obat, antibodi
diarahkan untuk melawan obat tertentu (metabolitnya)yang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya
adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
Pemfigus vulgaris disebabkan
oleh antibody terhadap protein desmosom yang
menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
b.
Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk
jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang
membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi
dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai
oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel
NK. Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus
tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang
digunakaan adalah IgE.
c.
Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan
untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa
menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end- plate otot-otot rangka
mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya,
antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap
reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan
menyebabkan hipertiroidisme.
d.
Manifestasi Klinis
Umumnya berupa kelainan darah,
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
3. Tipe III
: reaksi imun kompleks
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan
kompleks antigen-antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan
akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen
eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks
imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan
ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam
(kompleks imun in situ). Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik
jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ
atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit)
jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa
memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama;
namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun
berbeda.
a. Penyakit
Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks imun
sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
(1) pembentukan kompleks
antigen-antibodi dalam sirkulasi
(2) pengendapan kompleks imun di berbagai
jaringan, sehingga mengawali
(3) reaksi radang di berbagai tempat
di seluruh tubuh.
b.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum
antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini
bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks
antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi
yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor
penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit
dan pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun.
Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga
relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama
antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih
lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear.
Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang berlebih atau
disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan
meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan. Faktor lain yang mempengaruhi
pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik), valensi
antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan,
arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang
ada.tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit,
jantung, permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal
dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu
terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang
sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.
c. Untuk kompleks yang meninggalkan
Sirkulasi dan mengendap di dalam
atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan
dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator
vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks
tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang.
Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran
klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening,
dan proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya
serupa. Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis
jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a
dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat
kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh
neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah
substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator,
dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran
basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai
oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks
imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;
kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan
mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi
patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh
darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika
terjadi di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan
IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA
dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam
patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan
kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan
lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit,
konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.
d.
Manifestasi klinik
Manifestasi klinik hipersensivitas
tipe III dapat berupa:
1.
Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.
gejala sering disertai pruritis
2.
Demam
3.
Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4.
Limfadenopati
kejang perut, mual
neuritis optic
glomerulonefritis
sindrom lupus eritematosus sistemik
gejala vaskulitis lain
e. Etiologi
Penyebab reaksi hipersensitivitas
tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1.
Infeksi persisten
Pada
infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah
organ yang diinfektif dan ginjal.
2.
Autoimunitas
Pada
reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3.
Ekstrinsik
Pada
reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III
sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan
mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin
akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan
pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor
kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit
PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas
juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari
granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk
kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein
polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme
mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan
memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan. Kerusakan lebih lanjut dapat
disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang
sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan
menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan
zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan
iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat
mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
a.
Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit
untuk melepas histamine
b.
Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas
enzim proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a. Menimbulkan mikrotrombi
b. Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
f.Penyakit kompeks imun lokal
(reaksi arthus )
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai
area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh vaskulitis kompleks imun
akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu
antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah diimunisasi (yaitu
antibodipreformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena
pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai
antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini
dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta
gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun
sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4
hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi
disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.
a.
Klasifikasi
Pada reaksi hipersensitivitas tipe
III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :
1.
Reaksi Arthus
Maurice Arthus menemukan bahwa
penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat
hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema
dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi
bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut
fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di
dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi
7-8 jam setelah inhalasi antigen. Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan
antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan
memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada
dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan
C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema.
Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit
mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total
aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2.
Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan
Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan
infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan
serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan
pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai
penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat
dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang
tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan
konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria
sementara. Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang
kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini
kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari
reaksi ini adalah :
1.
Demam reuma
2.
Artritis rheumatoid
3.
Infeksi lain
4.
Farmer’s lung
4. Tipe IV :
Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe
I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada
tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam
mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan
virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses
ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat
pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen
sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh
sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut
menjadi dua tipe dasar:
(1) hipersensitivitas tipe lambat,
diinisiasi oleh sel T CD4+
(2) sitotoksisitas sel langsung,
diperantarai olehsel T CD8+.
Pada hipersensitivitas tipe lambat,
sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan
sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas
seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
a.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)hiper
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga
12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan
indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm)
dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/
tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis ,
reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti
manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin
oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;
penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin.
Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang
pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.
Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat
HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat
suatu infeksi yang berat.
b.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel
dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah
memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe
TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun.
Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T
naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen
yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan
proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1
inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons
DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut
adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu
sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil
tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama
yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber
sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi
IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang poten.
IFN-γ mempunyai berbagai
macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan
aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag
IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada
permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini
juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian
pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi
beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang
berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas
dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan
kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag
terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi
sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat
ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian
besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
TNFdan limfotoksin adalah
sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
(1) meningkatnya sekresi nitrit
oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah melalui
vasodilatasi local
(2) meningkatnya pengeluaran
selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel
mononuclear
(3) induksi dan sekresi faktor
kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya
limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
c.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus
DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan/ atau tidak dapat
didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif
digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas,
yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel
epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin
tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatusel raksasa(giant cells)
berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi
oleh lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan polanya disebut sebagai
inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang
digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk
membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap
suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah
kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme
pertahanan utama yang melawan berbagai patogen intrasel, yang meliputi
mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam
penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas
tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+,
respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis,
akan sangat terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak
dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma, terjadi akumulasi
makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang
menginvasi.
Selain bermanfaat karena peran
protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis kontak
adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas
lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga
dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada
penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis.
Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan
ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi
dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam epidermis. Di
tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan
terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
d.
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+
tersensitisasi membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel
dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit
T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi
terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi
virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini
bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan
sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh
sel CTL: (1) pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2)
pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah
mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom.
Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal
tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk
membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya
menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease
yang disebut dengangranzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui
pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis
sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang
homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini
menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk
melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam
penolakangr aft.
e.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipersensitivitas
tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
f.
Klasifikasi
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas
tipe IV, yaitu:
1.
Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya
infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan oleh
antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap
siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH)
merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah
suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi
sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri
dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya
masih belum diketahui. Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang
berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang
farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau
tersebut. Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan
allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk
konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan
dalam penyakit hipersensitivitas.
2. Hipersensitivitas Kontak dan
dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam
klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen.
Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel
Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada reaksi
ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang
perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali
disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan
unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu,
hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka
karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil
klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T
yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon
seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel
epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan
dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3.
Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi
dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah
terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50%
limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam
jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat
kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga
menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai
konsekuensi CMI. Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan
herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel
yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4.
Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks
monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol,
neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel
mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel
plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Penatalaksanaan
Skin Test : Tes yang dilakukan untuk mengetahui adanya alergi atau tidak,
contohnya tes tusuk kulit, tes gores, Patch test pada punggung, tujuannya
merangsang reaksi tubuh dengan allergen tertentu.
Skin Prick Test adalah salah satu
jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit.
Uji gores kulit adalah uji tes yang dilakukan dengan meneteskan sejumlah kecil
alergen yang dicurigai pada kulit yang normal dan dengan menggunakan jarum yang
kecil dilakukan penggoresan kedalam kulit. Tes ini aman dan tidak nyeri. Tes
ini dapat dilakukan pada semua golongan usia .
- Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48-72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema, dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.
Terapi Farmakologi
-
Epineprin dosis 0,3-0,5cc/kali/KgBB secara SC untuk anafilatoksis sistemik
-
Deladryl dosis 1-1,5cc secara IM (akan tetapi perlu diperhatikan, karena obat
jenis ini memiliki expired dalam jangka waktu 3 bulan)
Komplikasi
Polip hidung
Otitis media
Sinusitis
paranasal
Anafilaksi
Pruritus
Edema
BAB III
Penutup
Kesimpulan
1.
Karakteristik Hipersensitivitas Tipe I (Immediate Hipersensivity)
Antibody : Ig E
Antigen : Exsogen
Histologi : Basofil dan Eosinofil
Pembawaan pemindahan : Antibodi
Waktu respon : 15-30 menit
Penampilan tubuh : Kemerah-merahan, contoh penyakit: Asma alergi, Rhinitis
alergi
2. Karakteristik Hipersensitivitas
Tipe II (Antibody Mediated)
Antibody : Ig G dan Ig M
Antigen : Dipermukaan Sel Terlarut
Histologi : Antibody dan Komplemen
Pembawaan pemindahan : Antibodi
Waktu respon : beberapa menit sampai jam
Penampilan tubuh : Lisis dan nekrosis,contoh penyakit:anemia hemolitik,
rheumatic fever
3.
Karakteristik Hipersensitivitas Tipe III (Imun Complex)
Antibody : Ig G dan Ig M
Antigen : -
Histologi : Komplemen dan neutrofil
Pembawaan pemindahan : Antibodi
Waktu respon : 3-8 jam
Penampilan tubuh : Eriterma, edem dan nekrosis,contoh penyakit: SLE,
poststreptococcal
4.
Karakteristik Hipersensitivitas Tipe IV (T Cell Mediated)
Antibody : -
Antigen : Jaringan dan Organ
Histologi : Monosit dan Limfosit
Pembawaan pemindahan : T-cell
Waktu respon : 48-72 jam
Penampilan tubuh : Eriterma, contoh penyakit: rheumatotoid arthritis dan DM.
Daftar Pustaka
https://zulfiprint19.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment